PJ Kepala Daerah Dan Ancaman Demokrasi
Humas UM Sumatera Barat - Jakarta selalu menjadi pusat sorotan. Termasuk dalam hal peralihan kepimpinan dari Anies Baswedan ke PJ Heru. Di tengah sorotan yang tajam terhadap Jakarta menjadikan perhatian luput kepada persoalan dimana pengangkatan PJ Kepala Daerah ini tidak hanya terjadi di Jakarta.
Sebagai implikasi dari Pemilu serentak 2024 konsekuensi penunjukan PJ kepala daerah seperti ini harus diambil. Dilansir dari CNN Indonesia dalam kurun waktu 2022-2023 tercatat akan ada 271 kepala daerah yang akan mengakhiri masa jabatan dan akan digantikan oleh Pj kepala daerah.
Kebijakan menunjuk petugas (Pj) kepala daerah menarik untuk dikaji. Terlepas dari pejabat yang ditunjuk adalah orang non partai, simpang siur, gonjang-ganjing isu-isu kepentingan tidak bisa dihindarkan sama sekali. Mengingat Pj ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), maka mengemukanya kecurigaan-kecurigaan seperti itu wajar adanya.
Agaknya kecurigaan ini tidak terlepas dari bagaimana struktural negara terbentuk. Menteri adalah pembantu presiden, sedangkan presiden merupakan bagian dari partai politik. Kecurigaan di mana adanya potensi kepentingan di tubuh pemerintahan juga tidak tertutup kemungkinan untuk menjalar ke posisi yang lebih rendah. Bahkan mempengaruhi akar rumput.
Dengan kata lain perangkat negara pun secara tidak langsung merupakan perpanjangan tangan partai politik dalam birokrasi. Bukan tanpa alasan, bahwa adanya potensi untuk penguasa mempertahankan kekuasaannya kembali dengan cara-cara yang mendobrak rambu-rambu demokrasi. Hampir bisa dipastikan partai penguasa saat ini tidak mungkin melepaskan kekuasaannya begitu saja. Itu terlihat dalam ungkapan petinggi-petinggi partai dalam banyak kesempatan.
Disinilah letak permasalahannya. Penguasa memiliki potensi untuk menggunakan akses yang dimiliki terhadap alat negara untuk kepentingan politis. Iklim politik nasional tidak atau belum terlepas dari hal-hal yang sifatnya semacam itu. Sehingga akan melahirkan kecurigaan politik yang berujung kepada ketidakstabilan politik. Bentuk ketidakstabilan itu dapat dilihat bagaimana iklim dari ruang politik itu sendiri.
Kerentanan Kepentingan Politik
Tidak berhenti pada pengangkatan yang berpotensi mengangkangi demokrasi. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) juga mengeluarkan Surat Edaran Mendagri Nomor 821/5492/SJ tanggal 14 September 2022 memberikan wewenang kepada pejabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), dan pejabat sementara (Pjs) untuk mengambil tindakan terhadap pegawai daerah.
Dengan ini Pj kepala daerah memiliki wewenang untuk memberhentikan, mengangkat, memutasi, mengganti PNS. Kewenangan ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai sebuah masalah. Terdapat potensi untuk terjadinya abuse of power mengingat Pj kepala daerah bukanlah pilihan langsung dari rakyat dan tidak mendapatkan mandat rakyat.
“Surat Edaran yang dikeluarkan Mendagri berpotensi disalahgunakan oleh pejabat yang sebenarnya tidak memiliki hak dan mandat dari rakyat karena mereka dipilih Mendagri.” Ini diungkap dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Khoirul Umam seperti yang dilansir dari Tempo (16/09/2022).
Di samping itu, aturan ini juga dianggap menabrak regulasi yang lebih tinggi. Dilansir dari laman dpr.go.id, Komisi II DPR RI dari fraksi Partai Nasdem menyebutkan bahwa regulasi tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam Pasal 14 ayat 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tidak memberikan wewenang kepada Pj, Plt, dan Pjs untuk mengambil kebijakan seperti yang ada pada SE Kemendagri. Secara formil, keadaan ini membatalkan ketentuan surat edaran Kemendagri. Tapi, dalam praktik masih berjalan seperti itu.
Kecurigaan semakin besar di mana Surat Edaran ini dikeluarkan menuju Pemilu. Sisi positif dari kebijakan ini lebih menyederhanakan dalam penyelenggaraan birokrasi. Hal ini dapat menutupi kekosongan pemerintahan daerah yang mana kepala daerah sudah berakhir masa jabatan. Seperti yang disinggung sedikit di atas, bahwa surat edaran ini bisa semakin menguatkan kecurigaan adanya kepentingan politik.
Dalam kaitannya dengan demokrasi, keadaan ini adalah ancaman yang besar buat demokrasi. Tantangan untuk penyelenggaraan demokrasi yang lebih baik, dalam penyelenggaraan pemilu dalam satu tahun yang akan datang rentan untuk diarungi.
Tanpa pembacaan gimmick politik sekalipun kebijakan-kebijakan seperti ini tidak baik bagi keberlangsungan demokrasi tentunya. Misi untuk menegakkan good governance akan sangat sulit untuk direalisasikan ketika dalam penyelenggaraannya saja tidak bisa transparan dan syarat akan kepentingan.
Ditulis oleh Dr. Riki Saputra, MA Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
***
Untuk Mendapatkan Informasi Terbaru Ayo Bergabung Bersama Fanpage UM Sumatera Barat
Ikuti Juga Twitter UM Sumatera Barat
***
Informasi
KONTAK
Alamat
Jln. Pasir Kandang No. 4 Koto Tangah, Padang,25172
info@umsb.ac.id
Telp
(0751) 482274