info@umsb.ac.id 0823 8497 0907
WhatsApp Logo

Antara Cita - Cita Dan Realitas Pemilu :Keterwakilan Perempuan, KPU, dan Partai Politik

Oleh: Humas UM Sumbar   |   Senin,20 November 2023 10:53:00
Dibaca: 1809 kali

Pemilu merupakan proses yang esensial dalam sistem demokrasi di Indonesia, warga negara  memiliki  hak  untuk  memilih ataupun dipilih  dalam  pemerintahan. Namun, proses politik dalam pemilu tidak terlepas dari kekuasaan dan interaksi yang kompleks antar aktor politik. Dalam setiap pemilihan umum, konteks politik menjadi penting karena memengaruhi dinamika kekuasaan di dalam masyarakat.

Pemilu mengajarkan kepada masyarakat bagaimana terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik dengan cara memberikan suara kepada partai politik tertentu yang menjadi pilihannya. Agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis, maka pemilu sudah seharusnya diselenggarakan oleh suatu lembaga negara yang independen dan tidak memihak. Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia harus selalu berpegang pada peraturan perundang- undangan yang ada.

Keterlibatan perempuan dalam arena politik dan peningkatan jumlah mereka di lembaga legislatif merupakan isu krusial dalam upaya mencapai kesetaraan gender dan memperkuat demokrasi, termasuk di Indonesia. Salah satu langkah untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di tingkat legislatif adalah dengan menetapkan target 30% keterwakilan dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD. Penetapan minimal 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legistlatif baik kabupaten/kota, provinsi maupun pusat sudah termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun  2017 Pasal 245 yang secara tegas mengatur bahwa partai politik wajib menunjuk minimal 30% kandidat perempuan.

Kendati demikian pemberlakuan undang-undang yang mendorong keterwakilan perempuan, bukan berarti budaya telah mengalami perubahan, karena secara psikologis, beberapa laki-laki masih menghadapi tantangan dalam menerima kenyataan bahwa perempuan memiliki kemampuan kepemimpinan. Oleh karena itu, perlu adanya usaha untuk membiasakan ide bahwa laki-laki dapat menerima kepemimpinan perempuan dan mendukung mereka dalam peran tersebut. Untuk mengatasi pola pikir negatif, diperlukan pendidikan dan gerakan kesadaran gender khusus bagi laki-laki. Jika ketidak setujuan terhadap kepemimpinan perempuan tetap ada, maka partisipasi perempuan dalam dunia politik dapat semakin sulit.

Selain itu dalam hasil Daftar Calon Tetap (DCT) anggota legislatif tahun 2024 menyebut 18 (delapan belas) partai politik tidak memenuhi ketentuan tersebut. Salah satunya PKB yang paling menonjol sebagai partai politik yang paling banyak tidak mencapai kuota 30% perempuan di 29 daerah pemilihan (dapil) nya, PDIP dan Demokrat masing-masing memiliki 24 dapil yang tidak memenuhi persyaratan tersebut dan selanjutnya Golkar dan Gerindra sama-sama tidak memenuhi batas minimum keterwakilan perempuan di 22 dapil.

Permasalahan tersebut tidak terlepas dari pengabaian KPU terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 24/P/HUM/2023. KPU tidak merivisi pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 terakit persyaratan kandidasi 30% keterwakilan perempuan. Pengabaian tersebut mengindikasikan kurangnya responsivitas KPU terhadap aturan yang ada, yang seharusnya dijadikan sebagai pijakan dalam penyelengaraan pemilu 2024.

Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai sanksi adminstratif dalam konteks ini. KPU diharapkan  untuk bertindak tegas dengan mendiskualifikasi partai politik di daerah pemlihan yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan 30%. Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga bertangung jawab untuk menegakan aturan, yaitu dengan memberikan sanksi administratif kepada KPU agar pelaksanaan pemilu berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan mengarustamakan kesetaraan gender.

Undang-undang telah mengonfirmasi kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, tetapi masih banyak rintangan yang harus diatasi untuk menerapkan kesetaraan gender secara efektif. Transformasi pola pikir dan pandangan negatif terhadap kepemimpinan perempuan perlu dilakukan melalui upaya pendidikan dan peningkatan kesadaran gender. Dukungan dan kebiasaan positif dari pihak laki-laki dalam menerima kepemimpinan perempuan juga menjadi kunci dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan karena kurangnya representasi perempuan di lembaga legislatif menyebabkan kurangnya perhatian terhadap aspirasi dan kebutuhan perempuan dalam kebijakan publik.

Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk memotivasi dan melibatkan perempuan secara aktif dalam dunia politik, termasuk juga perlu dilakukan langkah-langkah untuk mendorong partisipasi perempuan dalam bidang politik, termasuk memberikan dukungan serta pelatihan guna meningkatkan keterampilan kepemimpinan dan keterampilan politik perempuan. Ini dapat diwujudkan melalui inisiatif pelatihan, bimbingan, dan pemberian dukungan finansial kepada perempuan yang tertarik terlibat dalam dunia politik.

Selain itu, Lembaga negara seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki peran penting dalam memastikan implementasi kebijakan dan perlindungan hak-hak perempuan di ranah politik. Melalui fungsi pemantauan, advokasi, dan pemberian bantuan teknis kepada partai politik dan calon legislatif perempuan, lembaga ini dapat berkontribusi untuk menghasilkan calon yang berkualitas.

Ditulis Oleh;Yazrul Anuar ( Mahasiswa Fakultas Hukum UM Sumatera Barat )bersama Mhd Yusuf ( Ketua Lembaga Kajian dan Debat Fakultas Hukum UM Sumatera Barat)

SHARE :

Informasi

KONTAK

Alamat

Jln. Pasir Kandang No. 4 Koto Tangah, Padang,25172

Email

info@umsb.ac.id

Telp

(0751) 482274