Pembunuhan Para Pejuang Di Kampung Tangah Anai
Humas UM Sumatera Barat - - Ketika dalam perjalanan di Lembah Anai, tempat yang menghubungkan Kota Padang dan Padang Panjang, kita pasti melewati tikungan dengan bukit “putih” berprasasti ini. Sejak kecil saya selalu menoleh ke titik ini apabila melintasi kelok di atas sungai tersebut, namun baru kemarin, 22 Agustus 2023, saya berkesempatan berkunjung ke tempat ini. Untung pakai mobil sendiri, karena mobil angkutan umum tidak bakalan berhenti. Selain karena tikungannya sangat tajam, jalanan biasa disesaki mobil berat yang sedang “maangok-angok” mendaki puncak.
Ternyata prasasti yang dipasang di lereng bukit ini bukan sembarang prasasti. Inilah catatan terjadinya pembataian para pejuang kita yang ditembak oleh tentara Belanda. Dalam prasasti itu dicantumkan nama-nama yang menjadi korban dari kalangan pejuang maupun rakyat sipil, lengkap dengan umur dan negeri asal. Tidak kurang dari 37 nama-nama tertera dalam prasasti karena guru dalam peristiwa sadis tanggal 25 Maret 1949 di Desa Kampung Tangah/Anai. Dulunya daerah ini masuk dalam Wilayah Komando Pertempuran Padang Panjang Batipuah X Koto.
Prasasti ini lengkapnya berbunyi, “Korban Peristiwa Pembunuhan Rakyat/Pejuang RI oleh Tentara Kolonial Belanda tanggal 25 Maret 1949 di Desa Kampung Tangah/Anai, Wilayah Komando Pertempuran Padang Pajang Batipuah X Koto”. Nama-nama yang tertera antara lain: Ilyas, Rabidin, Ramawi, Jahidin, Syamsuddin, Pakieh, Udin, Bidin, Bachtar, Jamaan, Muchtar, Ja’far, Abdu Malik, Kamba-Yusuf, Sado, Buyuang, Laidin, Dt Rangkayo Itam, Labai Mudo, Syukur, Buyung Kuen dan lain-lain. Pada umumnya mereka berasal dari daerah Ladang Laweh dengan usia yang sangat belia.
Pembantaian pejuang dan rakyat sipil ini tidak lepas dari sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Meski Indonesia sudah merdeka tanggal 17 Agustus 1945, namun Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan terus mengumbar hasratnya menjajah negara ini dengan membonceng Tentara Sekutu. Bukti tidak diakuinya kemerdekaan Indonesia ini ditunjukkan Belanda melalui tindakan agresi militer ke daerah Republik. Setidaknya Belanda sudah melakukan dua kali agresi, terakhir tanggal 19 Desember 1948. Dengan demikian, Indonesia kembali masuk ke dalam kancah perang, sementara upaya diplomasi mengalami jalan buntu.
Kenapa pembantaian itu terjadi di Silaiang?
Pihak militer dan pejuang di Sumatera Barat menyakini Belanda akan melakukan penyerbuan di seluruh front yang terbentuk di berbagai arah mata angin. Tampak Belanda menerjunkan pasukannya di beberapa tempat.
Dalam menghadapi kemungkinan penyerbuan Belanda secara besar-berasan ini, maka Komando Front Utara mengambil tindakan persiapan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan strategi memundurkan pasukan dari kota Padang ke tempat-tempat yang relative dapat dikuasai Republik. Beberapa tempat yang disepakati sebagai tempat pemunduran (terugval basis) adalah: 1) Kandang Ampek/Lembah Anai yang berada di bawah Batalyon 1, Sungai Sariak/Mudiak Padang/Padang Sago (Batalyon 2), 3) Mudiak Padang/Tandikek (Batalyon III), dan 4) Air Santok/Kampuang Dalam/Naraeh (Batalyon IV).
Tidak hanya itu, Lembah Anai atau Silaiang di Padang Panjang juga dijadikan Markas Komando sehingga garis pertahanan pejuang Indonesa berada di kaki Gunung Singgalang, Tandikek dan Marapi.
Penulis: Efri Yoni Baikoeni
Sumber: Husein, Ahmad, et all. 1991. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau 1945-1950, Jilid 1. Jakarta: Badan Permurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau (BPSIM).
Informasi
KONTAK
Alamat
Jln. Pasir Kandang No. 4 Koto Tangah, Padang,25172
info@umsb.ac.id
Telp
(0751) 482274