Orasi ilmiah rektor UM Sumbar di ISI Padang panjang tentang seni, estetika dan spiritualitas
Dalam teori realism, seni merupakan gambaran dari realitas seni yang baik harus mencerminkan realitas secara tepat mengimitasi alam secara pas yang realistis dan natural. Lukisan manusia yang paling bagus ialah lukisan manusia yang persis dengan manusia, lukisan gunung yang paling bagus adalah lukisan yang persis dengan gunung yang realistis. Jadi seni itu dia mempunyai nilai yang bagus jika menggambarkan realita, tidak fiksi tidak khayalan apalagi rekayasa. Tetapi disatu sisi, banyak juga yang oposisi terhadap paham realism ini. Dalam perspektif aliran Expressionism, seni yang bagus itu adalah seni yang mengekspresikan emosional baik secara batin, rasa, mood dan mentalitas dari pengarangnya, hal ini kebalikan dari paham realism. Pengarangnya mau mengungkapkan apa dan bagaimana itu tergantung dengan emosional dan ekspresinya. Agama itu menjadi indah atau menjadi tidak indah tergantung orang mengekpresikannya. Jika sukses orang mengekspresikan agama dengan indah, maka seni juga terlihat indah. Jadi seni yang baik adalah yang mampu secara efektif dan murni wilayah spiritualitas tersebut terekspresikan atau tersampaikan keluar.
Seni secara formalism adalah ketepatan baris, bentuk warna dan segala properti dari satu karya representasi. Ekspresi dan hal lain tidaklah terlalu penting. Karena seni yang baik memanfaatkan unsur-unsur formal dari satu karya untuk memicu “rasa estetis” dalam jiwa pengamatnya. Jika seninya dalam bentuk film, maka yang dilihat aktingnya bagus apa tidak, kalau lagu, nadanya pas apa tidak, kalau dalam bentuk agama apakah sudah benar dalam beragama atau menjadikan agama sebagai alat pembenaran demi sebuah kepentingan. Karena komposisi karya seni atau komposisi keindahan dilihat dari unsur-unsur formalnya. Paham seperti ini masuk kedalam kategori estetika ilmiah alirannya formalism. Seni juga sebagai simbolik atau dikenal dengan simbolik (non verbal) communication. Seni adalah mengkomunikasikan ide-ide atau wawasan melalui bahasa simbolik (non verbal). Apakah sebuah karya itu mampu mengkomunikasikan idenya melalui karyanya, karena dalam sebuah karya itu terdapat suatu ide yang ingin disampaikan. Simbolik inilah yang dipakai untuk melihat apakah ide itu tersampaikan atau tidak didalam karya tersebut.
Esensi dari seni adalah manfaatnya dalam membantu manusia memahami dan meningkatkan pengalaman hidup. Seni yang baik selalu dimaksudkan untuk satu tujuan yang baik karena nilai dari seni itu ditentukan oleh “status” yang diberikan oleh institusi-institusi dari dunia seni, bukan oleh properti-properti dalam karya seni itu sendiri. Lalu apa kapasitas seni dan estetika dalam spiritualitas. Seni adalah mengkomunikasikan nilai-nilai moral dan religius dari seorang kepada pengamat/penikmatnya. Seni yang baik suatu bentuk komunikasi yang tulus dari seseorang yang mempengaruhi penikmat/pengamatnya dengan nilai-nilai moral-religiusnya. Sering orang ketika melihat apakah itu lukisan atau puisi, pasti yang ditanyakan adalah pesan moralnya apa. Seperti “Masnawi” karya Jalaluddin Rumi, seni puisi-puisinya penuh dengan estetik sehingga membawa pembacanya kepada nilai-nilai moral dan religiusitas fungsinya untuk meningkatkan spiritualitas (Jalaluddin Rumi, 2013).
Pada dasarnya tujuan agama sebenarnya adalah etika. Etika mengatur relasi manusia dengan Tuhan, sesama, alam semesta. Peran manusia sebagai jalannya, spiritualitas agama merupakan penghayatannya fokus hanya ada pada etika. Etika itu perilaku manusia hubungan manusia dengan Allah dengan sesama manusia juga dengan alam semesta. Manusia hanya mempunyai dua fungsi, pertama fungsi menjadi hamba Allah dan kedua fungsi sebagai khalifatullah. Khalifahnya Allah dan keduanya adalah etika bagaimana hubungan manusia kepada Allah sebagai hamba dan bagaimana hubungan manusia dengan sesama dengan alam sebagai khalifah. Kenapa semua itu harus ada etika, karena tujuan etika supaya jiwa spiritualitasnya dapat menggapai rasa tentram, rasa aman dan nyaman, jadi tujuan etika terletak pada soal rasa dan jika itu soal rasa berarti domainnya adalah estetika. Yang memberikan kepuasan, kenyamanan, keindahan bagi manusia dalam menjalani kehidupan estetika inilah mengejawantah antara lain dalam seni (Sayyed Hossein Nasr, 2019).
Jika ada yang bertanya apa hubungan agama dengan estetika, agama itu muatannya adalah etika dan etika itu tujuannya ada pada penghayatan rasa manusia dan rasa adalah wilayahnya estetika. Jadi orang beragama harus sangat paham tentang dunia estetik, kalau kita oposisi terhadap dunia estetik, maka agama akan kering karena kehilangan visinya. Maka kajian estetik bukanlah kajian pelengkap, kebenaran tujuan agama adalah etika dan moralnya etika ada pada keindahan/estetika. Kebenaran tanpa kebaikan akan hilang kebijakan, kebaikan tanpa keindahan akan menjadi formalitas. Bayani, burhani dan irfani tidak bisa di pisahkan. Ketiga hal tersebut pada puncaknya adalah spiritualitas.
Jika dilihat lebih jauh lagi dalam teorinya Ismail Raji Al-Faruqi, estetika dalam Islam itu masuk kedalam pusaran tauhid, tauhid itu sederhana tapi manifestasinya banyak. Pertama, Implikasi Doktrinal: hidup kita itu harus bertauhid. Hidup yang implikasi doktrinal yaitu dualisme yang ada hanya khalik dan makhluk. Selain khalik semuanya makhluk, semuanya selevel egaliter tidak ada tindas menindas, tidak ada dzolim mendzolimi, tidak ada diskriminasi, yang tinggi hanya satu yaitu Tuhan, ini implikasi dari doktrinal. Kedua, Implikasi Ritual: ada beberapa hak khusus yang diminta oleh Allah ketika manusia sudah deklarasi kalimat tauhid. Allah meminta waktu manusia untuk menjalankan perintahnya, jika ada manusia setelah syahadat tidak melakukan ritual itu omong kosong namanya. Ketiga, Implikasi Intelektual: implikasi intelektual itu ma’rifat, manusia harus tahu siapa Allah siapa Rasul, seluk beluk tentang agama. Jika hanya sekedar deklarasi saja tetapi tidak tahu yang diyakini siapa yang dipercayai siapa, berarti itu belum bertauhid. Islam mewajibkan menuntut ilmu, manusia tidak akan ditaklukkan oleh alam semesta jika intelektualnya tinggi. Kenapa orang dulu ada yang menyembah pohon, menyembah batu dan lain sebagainya karena salah satu faktornya intelektual rendah. Semakin tinggi intelektual seseorang semakin berkualitas tauhidnya, Itu implikasi dari intelektual. Keempat, Implikasi Sosial: kehidupan bersama menjadi khalifatullah itu bebuat baik kepada orang lain. Banyak yang menulis tentang tauhid sosial, fiqih sosial, itu sebenarnya implikasi dari tauhid, jika saling membenci antar sesama berarti belum benar tauhidnya. Kelima, Implikasi Estetik: kalau bahasanya agama tahsiny atau penyempurna, laki-laki jika shalat menggunakan celana pendek sebatas lutut, shalatnya sah tapi tidak estetik. Para sufi lebih banyak berada di wilayah estetik dibandingkan wilayah intelektual atau sosial, karena sufi menyempurnakan. Estetik adalah dimensi penyempurna, Islam akan tetap utuh jika nilai estetiknya baik (Ismail Raji Al-Faruqi, 2014).
Spiritualitas memerlukan perwujudan dalam bentuk tindakan, baik untuk mengungkapkan maupun membangkitkan emosi spiritualitas dikalangan pemeluk kepercayaan suatu agama, agar spiritualitas benar-benar dirasakan/dihayati oleh manusia. Kemampuan suatu tindakan untuk mengungkap atau membangkitkan emosi spiritualitas bersandar pada daya simbolik yang dimiliki oleh manusia atau tindakan tersebut. Daya simbolik perilaku keagamaan bertumpu pada sistem kepercayaan manusia. Kemampuan atau perilaku untuk mengungkapkan atau membangkitkan emosi spiritualitas, pada dasarnya selaras dengan daya pesona (enchantment) yang dimiliki oleh seni atau perilaku seni. Oleh karenanya, benda atau perilaku spiritualitas sebenarnya berkelindan dan berkorelasi dengan perilaku seni, korelasi tersebut dapat berlangsung dalam dua arah: dari seni ke arah spiritualitas, dan sebaliknya dapat pula terjadi pergeseran ke arah penggabungan yang tidak saling meniadakan sekaligus spiritualitas dan seni. Pada dasarnya seni atau estetika membuka ruang yang sangat besar dalam meningkatkan spiritualitas manusia.
Oleh: Dr. Riki Saputra, Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Tulisan di atas disampaikan Riki Saputra saat orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis ISI Padang Panjang. Jum'at 22 Desember 2023.
Informasi
KONTAK
Alamat
Jln. Pasir Kandang No. 4 Koto Tangah, Padang,25172
info@umsb.ac.id
Telp
(0751) 482274