info@umsb.ac.id 0823 8497 0907
WhatsApp Logo

Keutamaan Menafkahi Keluarga Beserta Dalilnya

Oleh: Humas UM Sumbar   |   Kamis,14 Maret 2024 09:08:00
Dibaca: 51094 kali

Nafkah kepada keluarga meski menjadi kewajiban namun ia juga merupakan infak dan sedekah yang paling utama dari seluruh jenis sedekah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Dinar (harta) yang kamu belanjakan di jalan Allah dan dinar {harta} yang kamu berikan kepada seorang budak wanita, dan dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin serta dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu. Maka yang paling besar ganjaran pahalanya adalah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (HR. Muslim)

Jangan bersedih jika awal bulan dapat gaji dan langsung habis untuk keperluan anak, istri, dan keluarga. Sebab itulah sedekah yang paling besar pahalanya.

Atau di era sekarang bisa terbalik, yaitu seorang istri yang justru menjadi tulang punggung keluarga, maka syukuri karena Anda telah menjadi tameng dan benteng kehidupan keluarga. Insya Allah, kelak surga sebagai balasannya.

Dijamin Masuk Surga dan Dijauhkan dari Api Neraka

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Siapa saja yang mengasuh tiga putri, lalu mendidik, kemudian mengawinkan, dan memperlakukan tiga putrinya itu, maka ia berhak mendapat surga” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dari Abu Sa’id).

Selain itu bisa menjadi penghalang dari api neraka

“Barang siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629).

Dalam hadis lain Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barang siapa mengeluarkan hartanya untuk keperluan kedua anak perempuannya, kedua saudara perempuannya atau kepada dua orang kerabat perempuannya dengan mengharap pahala dari Allah, lalu Allah mencukupi mereka dengan karunianya, maka amalan tersebut akan membentengi dirinya dari neraka.” (HR. Ahmad 6: 293. Dari ummu Salamah)

Jika ingin bersama Nabi di surga maka wajib mengurus keluarganya, selain menjaga salat dan tidak ghibah.

“Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa saja yang baik salatnya, banyak keluarganya, sedikit hartanya, dan tidak melakukan ghibah terhadap umat Islam, kelak ia bersamaku di surga seperti dua ini (sambil mengisyaratkan dua jari)” (HR Abu Ya’la dari sahabat Abu Said Al-Khudri).

Allah SWT berfirman:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf” (QS. Al-Baqarah [2]: 233).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, diwajibkan atas orang tua si anak memberi nafkah dan sandang ibu anaknya dengan cara yang makruf, yakni menurut tradisi yang berlaku bagi semisal mereka di negeri yang bersangkutan tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu minim.

Hal ini disesuaikan dengan kemampuan pihak suami dalam hal kemampuan ekonominya, karena ada yang kaya, ada yang pertengahan, ada pula yang miskin.

Seperti yang dijelaskan di dalam firman-Nya:

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (At-Talaq: 7).

Ad-Dahhak mengatakan, “Apabila seseorang menceraikan istrinya, sedangkan ia telah punya anak dari istrinya itu yang masih dalam masa penyusuan, maka ia wajib memberi nafkah dan sandang kepada istrinya yang telah diceraikan itu dengan cara yang makruf.”

Hal ini diperkuat oleh hadis berikut:

“Hak mereka (istri) atas kalian (suami) adalah agar kalian memberi rezeki dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik.” (HR Muslim).

Lebih dari urusan makan dan pakaian, hak istri dan anak adalah diperlakukan dengan baik.

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku” (HR. Tirmidzi).

Dicintai Allah

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Allah menyukai orang fakir yang apik dan yang menjadi tulang punggung keluarga.” (HR Ibnu Majah).

Bagi orang kaya yg menjadi tulang punggung bagi keluarga maka hal itu biasa saja. Adapun jika hal itu dilakukan oleh orang yang miskin bahkan fakir maka hal itu membutuhkan perjuangan yang luar biasa.

Perjuangan yang dahsyat dan berat itulah yang menyebabkan Allah mencintai manusia tersebut.

Mendapatkan Pahala yang Besar

Mendapatkan pahala yang besar bahkan pahalanya lebih besar daripada membebaskan budak dan memberi makan orang miskin

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi)” (HR. Muslim, No. 995).

Lebih dari itu dalam Islam, semua infak itu dibalas oleh Allah dengan pahala yang besar walaupun sekadar menyuapi istri.

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu” (HR. Bukhari No. 56).

Mencari Nafkah Termasuk Jihad

Dalam Islam, jihad tidak hanya diukur dengan perang. Bagi orang tertentu yang sangat dibutuhkan keluarganya dan jika tak dapat digantikan oleh siapa pun, maka memberi nafkah itu pun termasuk jihad.

“Seorang sahabat pernah berpapasan dengan Nabi sallallahu alaihi wasallam, lalu para sahabat juga turut menyaksikan sahabat tadi yang warna kulitnya legam dan sangat rajin, mereka pun berkata, “Wahai Rasululullah, seandainya (pria semacam ini) ikut berjihad. Lalu Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menimpali, “Jika dia keluar rumah untuk menafkahi anaknya yang kecil dia (jihad) di jalan Allah, jika dia keluar untuk menafkah dua orang tuanya yang sudah renta, dia di jalan Allah.” (HR. Ath-Thabrani. dari Ka’ab bin Ujroh)

Memberi Nafkah Menghapus Dosa

“Dari Rasulullah saw., ia bersabda, ‘Dari sekian dosa terdapat jenis dosa yang tidak dapat ditebus kecuali dengan kebimbangan untuk mencari penghidupan (keluarga).” (HR At-Thabarani, Abu Nu’aim, dan Al-Khatib).

Sebaliknya, orang yang tidak memberikan nafkah mendapatkan dosa yang besar

“Cukuplah bagi seseorang untuk mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yang berhak mendapatkan makanan darinya.” (HR. Muslim No. 996).

Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”.

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya.” (HR. Bukhari, no. 5364).

Meninggalkan Keluarga dalam Keadaan Berkecukupan

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.”

Artikel ini sudah tayang di Majelis Tabligh

SHARE :

Informasi

KONTAK

Alamat

Jln. Pasir Kandang No. 4 Koto Tangah, Padang,25172

Email

info@umsb.ac.id

Telp

(0751) 482274