Menjaga Kemurnian Hati
Allah akan selalu hadir dalam hidup dan kehidupan kita. Allah tak terlihat karena Maha Ghaib. Namun, kita bisa merasakan kehadiran-Nya, pada diri kita, pada diri orang lain, juga pada lingkungan; tetumbuhan dan hewan-hewan, serta lebih luas alam semesta.
Allah melihat semua makhluk-Nya. “Dan Dia ada beserta kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4)
Merasakan kehadiran Allah bisa mendorong kita untuk lebih mawas diri serta penuh pertimbangan dan perhitungan saat akan melakukan sesuatu. Kita akan menimbang, apakah yang kita lakukan baik atau buruk. Kita menyeleksi dan mencermati betul setiap tindakan kita.
Jika merasakan kehadiran Allah, kita akan selalu berada di jalan kebaikan dan menjauhi jalan keburukan. Inilah yang Nabi sebut sebagai ihsan.
“Ihsan adalah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari Muslim)
Dikisahkan, Abdullah bin Dinar menemani Umar bin al-Khathab pergi ke Makkah. Di tengah perjalanan, mereka berhenti untuk beristirahat sejenak melepaskan lelah. Selang beberapa saat, lewatlah seorang penggembala yang menggiring kambing-kambingnya yang gemuk-gemuk pulang dari penggembalaan yang penuh rerumputan menghijau.
Umar sangat tertarik dengan keadaan kambing-kambing itu dan ingin membelinya seekor. Umar pun mencegat sang penggembala dan bertanya, “Wahai penggembala, aku tertarik dengan kambing-kambingmu. Sudikah kamu menjual seekor kepada saya ?”
Sang penggembala menjawab, “Wahai Tuan, maaf, ini bukan kambingku, melainkan milik majikanku. Aku tak bisa menjualnya sebelum memberitahu majikanku.”
Umar terus mendesak, “Dia tak tahu apa yang kita lakukan.” Si penggembala menjawab, “Majikanku memang tidak mengetahuinya, tetapi bukankah Allah Maha Mengetahui apa pun yang aku dan engkau perbuat ?”
Orang yang merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan akan terdorong untuk mencintai-Nya dengan tulus dan terus menerus berusaha mendekatkan diri kepada-Nya.
Dia juga akan senantiasa mencintai sesama dan seluruh makhluk-Nya karena semua itu sejatinya adalah milik dan ciptaan-Nya yang harus dijaga, dikasihi, disayangi, bukan dibenci, dizalimi, dan diperlakukan buruk.
Orang mukmin sejati akan selalu merasakan kehadiran-Nya karena dia menyadari keberadaan-Nya. Ini membuat dirinya akan selalu berada di jalan yang benar. Hidupnya juga akan bahagia karena yakin Allah pasti akan menyertainya, membimbingnya kepada kebaikan dan menjauhkannya dari keburukan, kesengsaraan dan penderitaan hidup.
Tanpa bimbingan Allah, manusia akan melenceng dan jauh dari jalan kebaikan serta dikuasai oleh hawa nafsu yang menjatuhkannya ke jurang keburukan. Ini tidak akan terjadi pada orang yang merasakan kehadiran-Nya.
Bila kita bijak mungkin kita akan menyadari betapa banyak potensi kita untuk mengenal dan mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala, namun kita belum optimalkan. Penyebabnya tentu beragam, bisa jadi karena kita terlarut dalam rutinitas duniawi.
Aktivitas yang padat demi meraih duniawi lebih diutamakan sehingga hati menjadi kotor, padahal hati merupakan aset paling berharga bagi setiap manusia dalam mengenal dan menjalin hubungan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Bila kita tidak hati-hati, banyak sekali kotoran yang akan melekat pada dindingnya yang fitrahnya bening dan jernih itu.
Penyebabnya pun macam-macam seperti: riya, sombong, meremehkan orang lain, bangga diri, hasud, dengki, buruk sangka, marah, dan lain sebagainya.
Untuk menjaga hati tetap jernih, kita harus membersihkannya dengan tiga hal, yakni:
Pertama, latihan kejiwaan. Aspek ini yang diatur dalam konsep maqam (kedudukan). Ada maqam tobat, sabar, tawakal, ridha, qanaah, syukur, dan mahabbah.
Kedua, latihan konsistensi (istikamah) dalam beribadah, termasuk di dalamnya memperbanyak membaca wirid-wirid dan dzikrullah.
Adapun salah satu fungsi wirid adalah mencerahkan hati dan menghilangkan watak ataupun sifat tak terpuji dalam proses pengalamannya.
Dzikrullah juga berarti melakukan perbuatan perbuatan baik fardu maupun sunah seperti setiap hari ada waktu untuk tilawatil qur’an, baca selawat, menghadiri kajian- kajian keislaman, dan berdakwah.
Karena yang terpenting dalam dzikrullah adalah membebaskan diri dari lalai dan lupa kepada Allah. Sehingga menurut seorang tabi’in agung Said bin Jubair:
“Setiap perbuatan yang di darmabaktikan untuk Allah adalah termasuk dzikir.” Hati yang selalu mengingat Allah akan bergetar ketika mendengar namaNya disebut, hati pun semakin lembut dan bersih dari kotoran.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (QS. Az-Zumar : 23)
Ketiga, berpuasa. Yang bukan sekadar menahan haus dan lapar, tapi puasa dari segala kecenderungan nafsu dan akhlak tercela. Jadi untuk mengoptimalkan fungsi rohani (hati) kita harus mengusahakan ketiga hal tersebut secara terus menerus.
Jika hati tidak lagi jernih, maka yang terjadi adalah pergeseran nilai-nilai suci yang luhur bergeser menjadi hubbun dunya. Hati semacam inilah yang membalik kebenaran ajaran yang dicontohkan dan diteladankan oleh Rasulullah melalui akhlak universal dalam Al-Qur’an dan sunah.
Kita boleh kaya dan bergelimang harta selagi benda duniawi itu tidak melekat dalam hati kita. Kecerdasan spiritual tidak berpusat di otak melainkan dalam hati. Dan hati harus senantiasa dijaga agar tetap jernih, bersih dari kotoran jiwa.
Kejernihan hati inilah yang membuat manusia mampu membedakan dengan tegas, mana haq, dan mana yang batil, sehingga nilai-nilai suci dan luhur tentang kehidupan akan tetap terpelihara.
Oleh: Ferry Is Mirza DM
Artikel ini sudah tayang di Majelis Tabligh
Informasi
KONTAK
Alamat
Jln. Pasir Kandang No. 4 Koto Tangah, Padang,25172
info@umsb.ac.id
Telp
(0751) 482274