Sejuta Sedimen Mengendap di Marapi, Galodo Sumbar Murni Bencana Alam
Humas UM Sumatera Barat – Banjir lahar dingin yang menimpa wilayah Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Agam dan Tanah Datar, tepat 11 Mei 2024 lalu merupakan bencana alam murni, real dari alam tanpa ada bencana ekologi maupun sangkut pautnya dengan ulah manusia. Hal itu disampaikan tim debat mahasiswa Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UM Sumbar), Afdoli Sinaloan pada kegiatan Mimbar Mahasiswa yang disiarkan langsung oleh Padang TV dengan tema Banjir Lahar Dingin : Bencana Alam atau Bencana Ekologi.
Dalam debat langsung ini, Afdoli Sinaloan didampingi oleh 2 orang anggota tim, yakni Ary Rahmat Sultan Siswandi dan Rahmi yang bertindak sebagai tim pro. Sementara tim kontra berasal dari Universitas Negeri Padang (UNP) dengan anggota tim Givan Valentino, Abdul Hasan dan Wilia Dara Rosandy. Turut hadir menjadi panelis luar biasa pada kesempatan tersebut Wakil Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Tommi adam.
Afdoli menjabarkan, bencana yang terjadi disebabkan tiga faktor. Pertama, ditinjau dari topografi Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Lembah Anai yang cukup curam. Berdasarkan analisis kerapatan, sungai tersebut memiliki angka 0,1 sampai 0,2 km, artinya setiap 100-200 meter dari sungai pertama akan menemukan sungai berikutnya. Hal ini bakal menjadikan limpasan air hujan akan cepat masuk ke badan sungai, inilah penyebab terjadinya banjir.
Kedua paparnya, banjir dilatarbelakangi oleh erupsi gunung marapi. Inilah penyebab utama mengapa banjir yang terjadi merupakan bencana alam. Menurut BMKG melalui siaran Metro TV, dari aktivitas gunung marapi 3 Desember 2023 hingga sekarang telah tercatat 124 kali erupsi sehingga menyebabkan sedimen yang terkumpul pada kawasan marapi sudah mencapai 1 juta meter kubik. Apabila terjadi curah hujan walaupun sedikit bakal menghanyutkan sedimen tersebut ke bagian tengah atau hilir sungai, di sini hujan hanya sebagai perantara. Bencana lahar dingin atau sedimen terbawa curah hujan yang terjadi di Lembah Anai juga bisa disaksikan melalui video-video yang viral
Di alasan ketiga, ia membahas tentang sejarah, di mana pada tahun 1892 terjadi banjir di Lembah Anai yang menyebabkan kerusakan infrastruktur, pembangunan rel kereta api dan juga jalan raya pada masa kolonial Belanda. Kemudian di tahun 1904 juga terjadi banjir dengan curah hujan tinggi 225/hari. Sedangkan kejadian bencana kemarin, curah hujan yang terjadi hanya di angka 75 mm/hari. Sehingga ia menyimpulkan, jika memang bencana ekologi berarti curah hujannya harus mencapai 225 M2 mm/hari supaya terjadi debit puncak. Sehingga disimpulkan bencana yang terjadi murni bencana alam tanpa campur tangan dan kegiatan manusia.
Dalam debat tersebut, tim kontra juga menyanggah anggapan tim pro bahwa banjir yang terjadi merupakan bencana ekologis dikarenakan krisis ekologi sudah terakumulasi dari tahun ke tahun. Givan Valentino selaku tim kontra menyebut, kurangnya perhatian pemerintah terhadap ekologi menyebabkan daerah Silaiang Bawah tetap ada pembangunan dan kegiatan masyarakat. Pada tahun 2023 sebutnya, sudah ada rekomendasi pemerintahan untuk memberhentikan pembangunan dan kegiatan di Silaiang Bawah. Tetapi masyarakat masih bersikeras untuk berkegiatan di tempat tersebut. Di sini juga terihat bahwa bencana ekologis disebabkan masyarakat.
Namun tim pro UM Sumbar mengkaji, jika bencana tersebut bencana ekologi, tentu ada kerusakan hutannya. Sementara pihaknya melihat tutupan lahan yang berada pada DAS lembah Anai 70 persen masih vegetasi dan 30 persen bangunan. Berarti kondisi hutannya masih bagus, fungsi aliran sungai untuk menyerap, menyimpan dan mengaliri air sungai masih berfungsi dengan baik untuk kawasan hutannya.
Kemudian tim pro juga membahas terkait sebuah kafe dan restoran yang hanyut di tepi DAS Lembah Anai. Menurutnya pembangunannya memiliki kesalahan karena berada pada kasawan lindung yang mana berdasarkan peraturan pemetaan kawasan lingkungan hutan lindung di sumatera barat, menetapkan kawasan tersebut lindung. Dipaparkannya, hutan memiliki tiga fungsi, fungsi lindung, konservasi dan produksi. Sedangkan lindung memang tidak bisa diapa-apakan, dibangun, ditebang apalagi dirusak. Kesalahan kedua, kafe tersebut dibangun di sempadan sungai, tidak sampai 100 meter dari palung sungai sesuai peraturan perundang-undangan. Sehingga ia menyimpulkan, bencana murni dari alam karena permasalahan yang berada pada hulu marapi. (tia)
Informasi
KONTAK
Alamat
Jln. Pasir Kandang No. 4 Koto Tangah, Padang,25172
info@umsb.ac.id
Telp
(0751) 482274