Ketika Dewi Fortuna Anwar Berkisah Tentang Ayahnya, Prof. Dr. Khaidir Anwar, MA
Oleh: Efri Yoni Baikoeni
Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, MA adalah seorang Professor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN yang dibentuk tahun 2021 dan merupakan gabungan dari LIPI, BPPT, LAPAN, BATAN dan lembaga-lembaga penelitian dari Kementerian/Lembaga lainnya. Dia merupakan anak sulung dari Prof. Dr. Khaidir Anwar, MA seorang mahaguru yang pernah menjadi Dekan pertama Fakultas Sastra Universitas Andalas (1983-1988). Tidak hanya itu, Khaidir Anwar juga pernah mengabdi sebagai Dosen IKIP Bandung, sebelum diangkat sebagai Dosen Bahasa Indonesia pada School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Di UK ini, Khaidir Anwar tinggal bersama keluarganya selama 10 tahun (1972-1982).
Pasangan Khaidir Anwar dengan Dra. Wahidar Khaidir, MLS memiliki tiga orang anak perempuan. Setelah sang sulung Dewi, ada adiknya yaitu Dra. Sri Danti Anwar, MA dan Desi Fatimah Anwar, MA. Saat ini Danti bekerja pada salah satu perguruan tinggi swasta yang bergerak di bidang Kesehatan. Sebelumnya dia lebih dari 30 tahun sebagai PNS di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Tidak hanya itu, Danti juga menjabat sebagai Wakil RI untuk ASEAN Commission on Women's and Children's Rights. Sedangkan Desi bekerja di CNN Indonesia sebagai Senior Anchor dan Direktur. Sebelumnya dia dikenal luas sebagai penyiar RCTI dan Metro TV.
Pada tanggal 19 April 2025, kami mengundang kehadiran Dewi Fortuna Anwar dalam diskusi melalui Zoom Meeting dalam rangka penyusunan buku biografi ayahnya. Hadir pula, Sri Danti, sementara Desi berhalangan karena sedang dalam perjalanan di Bima, NTB.
Menurut penulisnya, buku ini disusun memperingati tiga dekade wafatnya Khaidir Anwar yang meninggal dunia tanggal 23 Maret 1995 di Padang. Para penulis merupakan mantan mahasiswa dari Ilmuwan Sederhana Nan Bersahaja tersebut, tepatnya di Jurusan Sastra Inggris, UNAND angkatan 1992. Saat ini mereka menjadi akademisi di berbagai perguruan tinggi yaitu: Efri Yoni Baikoeni, MA (Dosen UM Sumatera Barat), Yulnetri, MA (Dosen UIN Prof. Dr. Mahmud Yunus di Batu Sangkar), dan Dr. Feni Munifatullah, MHum (Dosen Unila, Lampung).
Dewi Fortuna Anwar yang baru saja diangkat sebagai Visiting Professor di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) tersebut menyambut baik rencana penulisan buku itu.
“Saya senang sekali adanya gagasan ini karena terus terang bagi kami pihak keluarga, khususnya anak-anak beliau sendiri belum terpikir untuk itu. Bahkan manuskrip memoar Papa yang saya share kepada adik-adik saya, mungkin belum pernah dibaca, karena kami anak-anak cenderung “taken for granted” terhadap orang tuanya”, katanya.
Khaidir Anwar pernah menulis memoir mengenai perjalanan hidupnya sebagai Tentara Pelajar sebelum berkecimpung dalam dunia akademik. Dia juga menjadi salah satu saksi Peristiwa Situjuh, 15 Januari 1949 yang terkenal itu. Memoir itu berjudul “Growing Up in Minangkabau: The Indonesian Revolution as I Knew It”. Naskah yang selesai diketik tahun 1979 dalam Bahasa Inggris ini belum pernah dipublikasikan.
Memoar ini ditemukan Dewi tahun 2003 ketika pulang kampung ke Koto Kaciak, Nagari VII Koto Talago, Kec. Guguak. Saat itu ibunya, baru saja meninggal dunia di Jakarta. Saat membereskan buku-buku orang tuanya, dia menemukan memoar itu di tumpukan buku-buku lainnya. Manuskrip setebal 65 halaman itu kemudian dibawanya ke Jakarta.
“Manuskrip itu saya simpan begitu saja di rak buku anak saya. Tidak pernah diapa-apakan”, lanjutnya.
Pada tanggal 10 Maret 2025, Dewi Fortuna Anwar bertemu dengan Efri Yoni Baikoeni dalam kesempatan seminar mengenang wafatnya Prof. Dr. Hasjim Djalal yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta. FPCI dipimpin oleh Dr. Dino Patti Djalal (mantan Wamenlu RI) sedangkan Dewi Fortuna Anwar adalah salah seorang pendirinya (co-founder).
Pada saat itu, Efri Yoni Baikoeni yang didapuk sebagai salah seorang pembicara, usai pertemuan pernah menyatakan keinginannya menulis biografi Khaidir Anwar. Rencana penulisan biografi ini didasarkan keinginan mengisi kekosongan yang ada (narrowing gap) mengingat buku biografi yang pernah terbit belum menyajikan perjalanan hidup Khaidir Anwar secara lengkap dan utuh. Pada tahun 2009, Fakultas Sastra UNAND pernah menerbitkan buku berjudul “In Memoriam Prof. Dr. Khaidir Anwar: Ilmuwan Sederhana Nan Bersahaja” oleh Dr. Zaiyardam Zubir (editor).
Menanggapi gagasan tersebut, Dewi teringat kembali dengan memoir ayahnya yang belum pernah diterbitkan itu. Setelah menemukan kembali, Dewi segera mengonversinya dalam bentuk digital dan mengirimkannya kepada Efri Yoni Baikoeni.
“Setelah saya cari ternyata ketemu dan saya minta Desi memindahkannya dalam bentuk PDF. Konversinya baru selesai minggu lalu dan langsung saya kirim kepada Efri Yoni”, jelasnya.
Tidak hanya itu, dalam proses penulisan buku ini, Dewi menyatakan bahwa pihak keluarga akan membantu dan memberikan kebebasan kepada penulis untuk menggambarkan sosok ayahnya dari berbagai sudut pandang, baik positif maupun negatifnya.
“Kami pihak keluarga siap membantu apa-apa yang bisa dibantu. Kalau bisa mohon di share TOR-nya untuk dipelajari. Kami dari pihak keluarga tidak ingin melakukan intervensi karena kami mengharapkan penulis dapat menampilkan Papa tidak hanya yang indah-indah saja. Kami tidak akan melakukan sensor seolah-olah membatasi penulisan buku ini”, jelasnya.
Seperti saat pendirian Fakultas Sastra, perjalanan kampus ini tentu tidak mulus-mulus saja. Mungkin terjadi konflik atau pro-kontra di awal pendirian kampus ini ketika masih di Jati sampai kampusnya pindah ke Limau Manih. Khaidir Anwar bersama dengan Prof. Dr. Aziz Salleh, MA merupakan dosen gelombang pertama yang tinggal di Kampus Limau Manih yang masih seperti hutan itu. Perumahan dosen masih sangat terbatas, bahkan lebih banyak dihuni mahasiswa. Binatang liar seperti babi hutan banyak berkeliaran. Keluarga ini bahkan harus mengambil air ke sungai untuk dimasak karena di rumah belum ada pipa air ledeng.
Selain mengandalkan bahan dari memoir Khaidir Anwar sebagai Tentara Pelajar, penulisan buku ini juga mendapat “amunisi” dari memoar yang ditulis oleh Prof. Conrad William Watson (C.W. Watson) tahun 2003 berjudul “Memories of Khaidir and Taci”. Dia bercerita bagaimana pertemuannya dengan Khaidir Anwar dan “Taci” panggilan akrab Wahidar Khaidir di Bandung. Saat ini Prof. Watson masih hidup dan dapat dihubungi secara pribadi. Beliau pernah menjadi dosen tamu di ITB dan punya rumah di Bandung. Setelah cucunya meninggal dunia awal tahun 2025 karena kecelakaan, beliau memboyong keluarganya ke Canterbury, Inggris. Prof. Watson menikah dengan wanita yang berasal dari Kerinci bernama Martina. Mungkin nanti keluarga ini akan tetap bolak-balik Canterbury-Bandung karena memiliki rumah di kedua tempat tersebut.
Dalam penulisan buku ini, Dewi mengharapkan penulis dapat mencari “angle” yang lebih sempit, tidak terlalu melebar. Pilihan angle itu mungkin seperti perjuangan Khaidir Anwar dalam mendirikan Fakultas Sastra atau membantu UNAND “go international” karena Khaidir Anwar banyak menerima mahasiswa asing dan tinggal bersamanya di Limau Manih.
“Jadi harus ada tema, dan bukan sekedar data kronologis tentang kelahiran seperti Wikipedia, tetapi harus ada tematiknya seperti buku yang ditulis Efri Yoni tentang Prof. Hasjim Djalal yang berbicara mengenai peranan beliau dalam Hukum Laut. Tema itu yang ditonjolkan walaupun ada background lain”, ujar Dewi membandingkan dengan buku biografi “Patriot Negara Kepulauan: 80 Tahun Prof. Dr. Hasjim Djalal Gelar Tuanku Pujangga Diraja”.
Terkait dengan pengalaman hidupnya sebagi seorang anak dengan orang tua, Dewi mengatakan adiknya Sri Danti relatif lebih lama tinggal bersama orang tua di Bandung.
“Terus terang saja, Danti ini anak favoritnya Papa. Dia lahir waktu Papa saya tidak ada karena sedang kuliah di Amerika tahun 1959. Mama mengandung Danti waktu Papa pergi, jadi namanya Danti itu maksudnya dia menanti ayahnya. Danti itu diakui Papa paling mirip dengan ibundanya, Ande Djariah di Lintau. Karena itu mungkin Danti bisa juga bercerita lebih banyak”, katanya menjelaskan.
Kebersamaan hidup Dewi dengan orangtuanya dimulai saat dia sudah berumur 15 tahun. Sebelumnya Dewi hidup terpisah karena dibesarkan di kampung bersama dengan kakek-neneknya. Kakeknya bernama H. Habib adalah seorang ulama dan tokoh masyarakat di nagari tersebut.
“Waktu saya dengan Papa lebih banyak dihabiskan saat tinggal di London, bersama dengan Desi. Waktu itu umur saya sudah “teenager” sehingga hubungannya berbeda dengan Desi yang sejak kecil tinggal dengan orang tua. Kalau saya sudah “parity” atau setara dengan orang tua. Hubungan dengan ibu saya lebih seperti berteman saja. Kalau dengan adik-adik saya, hubungan mereka dengan Mama seperti hubungan ibu dan anak. Malahan cara berpikir saya lebih kolot berbanding Mama karena saya dibesarkan oleh datuk saya di Koto Kaciak yang berpaham Wahabi, yang banyak pantangnya. Jadi saya sangat kritis terhadap orang tua yang memakai baju mini, suka dansa dansi dan lain-lain.
Pernah suatu ketika, Dewi ditanya Prof. C.W. Watson waktu tinggal di Bandung. Mulanya Pak Khaidir “memprovokasi” Prof. C.W. Watson dengan mengatakan, “Bill, tanyakan ke Dewi, menurut dia dansa itu bagaimana?”
Prof. C.W. Watson pun bertanya ke Dewi, “Dewi, bagaimana pandangan kamu terhadap dansa?”
Dewi menjawab, “Dansa itu haram”.
“Jadi hubungan saya dengan orang tua itu agak berbeda dibandingkan dengan adik-adik yang lain. Pengalaman Danti dan Desi mungkin lebih banyak personalnya”, katanya dengan senyum manis mengakhiri.
Informasi
KONTAK
Alamat
Jln. Pasir Kandang No. 4 Koto Tangah, Padang,25172
info@umsb.ac.id
Telp
(0751) 482274