Tatkala Prof. Dr. Khaidir Anwar, M.A Berkiprah di Inggris Raya
Oleh: Efri Yoni Baikoeni, MA (Dosen Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat)
Sebelum ke Inggris Raya, Khaidir Anwar telah menamatkan pendidikan Sarjana Muda di Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Bandung tahun 1958. Setelah lulus, Khaidir diangkat sebagai asisten dosen dengan status sebagai pegawai negeri, sambil meneruskan pendidikan ke tingkat Sarjana (penuh) di IKIP Bandung. Pendidikan program sarjana ini berhasil ditamatkan tahun 1959.
Devi Fortuna pun hinggap padanya. Tidak menunggu lama, Khaidir mengambil Master untuk pertama kalinya di University of Columbia, New York. Sampai menyelesaikan thesisnya tahun 1960, dia berangkat sendirian di Negari Paman Sam tersebut. Saat meninggalkan keluarga, isterinya Wahidar sedang hamil anak kedua mereka Sri Danti.
Khaidir mendapat kesempatan tugas belajar kedua untuk mengambil Master di University of Edinburgh, Inggris. Setelah menempuh pendidikan selama setahun, dia berhasil menyelesaikan program S-2 dalam bidang Linguistik tahun 1961 dan berhak memperoleh gelar Master of Arts (MA). Usai diwisuda, dia kembali ke almamaternya di IKIP Bandung untuk mengabdikan ilmunya sebagai dosen.
Pernikahan pasangan Khaidir dan Wahidar berlangsung tanggal 18 Juli 1957. Pada saat itu Khaidir berusia 27 tahun sedangkan Wahidar berusia 23 tahun. Pernikahan mereka diselenggarakan di Danguang-Danguang, Kec. Guguak. Saat itu, keduanya tercatat berstatus mahasiswa PTPG di Bandung. Yang bertindak sebagai wali nikah Wahidar bernama Azhari W dengan mas kawin satu bentuk cincin. Setahun pasca pernikahan, anak pertama mereka Dewi Fortuna lahir tanggal 22 Mei 1958 di Bandung, Jawa Barat.
Dosen SOAS, University of London
Periode tahun 1973-1982 merupakan saat dimana Khaidir banyak berkiprah di Inggris Raya. Dia diterima bekerja sebagai pengajar Bahasa Indonesia di University of London, khususnya pada School of Oriental and African Studies (SOAS). Isterinya, Wahidar juga diterima bekerja sebagai Staf Perpustakaan di kampus tersebut. Di Kerajaan Ratu Elizabeth inilah, keluarga Khaidir tinggal selama 9 tahun lebih.
Kesempatan bekerja di University of London bermula tahun 1971, saat Dr. Russel Jones, seorang akademisi dari kampus itu mengunjungi IKIP Bandung. Dia banyak mengenal reputasi Khaidir sebagai dosen sekaligus pengajar British Council. Khaidir mengajar Bahasa Indonesia untuk staf British Council dan para diplomat Inggris yang tinggal di Bandung.
Berkat reputasi dan rekam jejaknya yang sangat baik, Khaidir direkomendasikan untuk melamar di University of London yang saat itu membutuhkan pakar untuk mengajar Bahasa Indonesia. Setelah melalui proses administrasi, lamaran Khaidir diterima.
Mengingat kontraknya cukup panjang, pada tahun 1973 Khaidir bersama Wahidar yang akrab dipanggil “Taci” itu memboyong keluarga mereka ke London. Ada dua anak yang dibawa serta yaitu si sulung Dewi dan si bungsu Desi. Sementara anak ke-2 Danti masih sekolah di kampung yaitu SMPN Dangung-Dangung, Kec. Guguak, Kab. Lima Puluh Kota. Dia tidak ikut karena harus menyelesaikan sekolahnya. Setelah tamat SMP, Danti menyusul ke Inggris dan tinggal dengan orang tuanya selama dua tahun. Danti kemudian ke Indonesia melanjutkan pendidikan tingkat SMA dan perguruan tinggi di Bandung.
Keluarga Khaidir tinggal di kawasan pinggiran Kota London bernama Mill Hill. Menurut pengakuan Dewi, rumah yang mereka tempati berukuran kecil. Meski demikian, keluarga Khaidir dikenal dekat dengan para tetangganya.
Saat mengajar ke kampus, Khaidir menggunakan mobil jenis sedan, sedangkan untuk pergi ke Kota London, biasanya keluarga ini naik train. Untuk mengisi waktu luang, Khaidir dan Taci aktif sebagai anggota Klub Badminton.
Salah seorang akademisi yang mendampingi Khaidir mengajar adalah Nigel Phillips. Dia tidak saja sebagai kolega di kampus namun juga tetangga di rumah.
Selama di SOAS, Khaidir bertugas mengajar Bahasa Indonesia kepada dosen dan sivitas akademika University of London. Hubungan yang intensif itu membuat kesan yang mendalam di kalangan kolega dan mahasiswanya. Khusus mahasiswa yang mengikuti kuliah ini berasal dari program sarjana dan paska sarjana. Khaidir dikenal sebagai dosen yang hebat karena dia tidak hanya menggunakan bahan ajar dari literature yang ada, namun juga mengembangkan bahan ajar sendiri.
Selama di University of London, Khaidir tidak hanya mengenalkan bahasa dan budaya Indonesia, namun juga Bahasa Minang dari berbagai perspektif seperti Sejarah, Agama dan Politik. Khaidir dinilai berhasil mewujudkan misi universitas tersebut karena wawasannya yang luas. Hal ini didukung oleh keterampilan berbahasa Khaidir yang tidak hanya sebatas menguasai bahasa Inggris namun juga Arab, Jerman dan Jepang.
Dalam pergaulan, meski dikenal sebagai Muslim yang taat, namun Khaidir cukup toleran, bahkan mendalami juga kepercayaan agama lain. Dalam memahami budaya Inggris, dia tidak hanya membaca literature namun juga mengikuti berita “British Press”. Nigel Phillips sendiri yang notebene warga Inggris seringkali ketinggalan berita yang membuatnya malu di depan Khaidir. Tentu saja itu membuatnya makin mengagumi Khaidir.
Kontribusi Khaidir dinilai sangat penting bagi akademisi University of London khususnya dalam memahami budaya Indonesia, bahkan Minangkabau. Diantaranya bagi Nigel Phillips sendiri yang mengkaji tentang budaya Minangkabau seperti “Sijobang” atau “bakaba”, sejenis budaya bertutur (story telling). Khaidir membimbing penelitian Nigel Phillips secara intensif yang menitikberatkan kajiannya pada aspek bahasa dan budaya. Sebagai orang Minang, tentu saja Khaidir dapat menjelaskan seni budaya itu dengan baik, apalagi saat tinggal di kampung, dia suka sekali menyaksikan pertunjukan tersebut.
Selain mengajar, Khaidir menggunakan waktunya melanjutkan pendidikan Doktoralnya di University of London. Dia mengambil spesialisasi dalam bidang Sosiolinguistik. Disertasinya berjudul “Bahasa Indonesia: Perkembangan dan Penggunaan Bahasa Nasional”. Disertasi ini kemudian diterbitkan UGM tahun 1980.
Sebagai seorang intelektual Indonesia yang bekerja sebagai akademisi di Inggris, Khaidir seringkali menerima kehadiran intelektual Indonesia yang berkunjung ke negara tersebut.
Salah satu intelektual yang pernah bertemu dengannya adalah Prof. Dr. Amir Hakim Usman, MA yang kebetulan sama-sama berasal dari Sumatera Barat. Pertemuan itu terjadi bulan Juni 1977 tatkala Amir sedang mengikuti studi tour ke Inggris sebagai rangkaian program di Belanda.
Sebetulnya antara kedua intelektual itu sudah pernah bertemu juga dalam berbagai kegiatan akademik baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pertemuan terakhir mereka adalah 17 tahun lalu.
Hubungan pribadi mereka juga sangat dekat karena keduanya sama-sama menempuh pendidikan menengah di Bandung. Khaidir bersekolah di SMEAN di Jalan Wastukencana No.1 Bandung, sedangkan Amir di SMAN III Bandung. Meski usia Khaidir lebih tua 2-3 tahun, namun keduanya pernah pula melanjutkan ke Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang menjadi cikal bakal IKIP Bandung.
Study Tour Amir ke London dalam rangka mengikuti program tambahan di SOAS, University of London. Untuk menuju Inggris, Amir menumpang kapal fery dari pelabuhan Hoek Van Holland di ujung Selatan Negeri Belanda. Dia mendarat di Pelabuhan Harwich di ujung Tenggara Inggris. Perjalanan Harwich–London memakan waktu dua jam dengan kereta api yang menyenangkan. Di London, dia menginap di White Hall Hotel, sebuah penginapan sederhana dekat Kampus University of London. Amir dijemput Prof. Dr. Wilner seorang pakar Linguistik yang juga promotor Khaidir dalam mengambil program Doktoral (PhD).
Mendengar kabar kalau sahabatnya sudah berlabuh, tentu saja Khaidir tidak tahan diri menemui Amir. Dorongan rasa rindu tanah air yang sangat kuat, dia segera mendatangi Amir di tempat penginapannya. Kebetulan Amir bersama dengan akademisi yang lain. Cukup lama dia mencari-cari Amir dalam kerumunan akademisi itu, akhirnya teman lama yang sekampus dan se-kampung itu bertemu jua.
Begitu melihat wajah Amir, Khaidir spontan berteriak, diselingi gelak tawanya yang khas dan lepas. Khaidir bertanya bertubi-tubi, “Baa kaba kampung awak kini ko? Si anu dimanyo? Alah bara anaknyo?” dan lain-lain.
Setiap hari Khaidir menemui Amir di kampus itu. Tidak saja pagi sebelum kuliah, namun juga waktu istirahat siang atau sore seusai kuliah. Yang paling sering adalah saat makan siang bersama di kantin universitas. Karena Taci juga bekerja sebagai Staf Perpustakaan SOAS, dia sering ikutserta sehingga menambah semarak pertemuan “konco lamo” tersebut.
Pada hari ke-empat, Amir diajak Khaidir berkunjung ke rumahnya di Mill Hill. Pukul 5 sore, keduanya berangkat meninggalkan kampus dengan kereta api bawah tanah (underground). Perjalanan dilanjutkan dengan kereta api dari Stasiun Liverpool selama 45 menit.
Di rumahnya, Khaidir mengajak Amir menikmati jamuan masakan khas Minang racikan Taci. Waktu itu Desi berusia 13 tahun, sedang duduk di kelas 3 di Junior High School (SMP).
Ada peristiwa yang tidak bisa dilupakan Amir. Dia tersesat malam itu karena kembali ke hotel sendirian. Amir meninggalkan rumah Khaidir sekitar pukul 10 malam. Karena dia keluar train melalui pintu yang salah akibatnya lelaki itu berjalan berlawanan arah dengan jalan menuju hotel. Dua jam, dia harus menelusuri jalan-jalan Kota London untuk menemukan arah yang benar. Untunglah waktu itu musim panas. Udara tidak terlalu dingin. Kebetulan pula, Kota London sedang bermandikan cahaya lampu berwarna warni dalam rangka perayaan 25 tahun Ratu Elizabeth naik tahta keratuannya.
Keesokan harinya, Amir menceritakan pengalamannya tersesat pulang ke hotel karena pulang sendirian. Mendengar kisah Amir itu, ketawa Khaidir meledak lepas.
Dalam pertemuan yang sangat mengesankan itu, Amir mengakui sangat mengagumi peranan dan prestasi Khaidir di negeri orang, apalagi melihat dengan mata kepala sendiri. Terdorong oleh kekaguman itu, setelah kembali ke Tanah Air, dia menulis artikel berjudul “Kesan-kesan Study Tour ke London dan Sekitarnya”. Tulisan itu kemudian dimuat Harian Haluan di Padang pada bulan Juli 1977. Feature itu memakan tempat satu halaman penuh karena dimuat secara utuh.
Selain Prof. Dr. Amir Hakim Usman, MA, intelektual lainnya yang pernah menemui Khaidir Anwar adalah Prof. Dr. Deliar Noer, MA yang saat itu menjabat sebagai Rektor IKIP Jakarta. Pertemuan yang terjadi tahun 1980 tersebut diceritakan Deliar dalam bukunya “Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa”.
Dalam kunjungan itu, Khaidir sempat mengajak Deliar mengunjungi beberapa tempat yaitu University of London dan Islamic Foundation. Ketika mengunjungi University of London, Khaidir mengajak Deliar ke Dillon, toko buku universitas. Setelah itu, mereka mengunjungi Islamic Foundation karena Deliar sebelumnya telah mengenal Ketua Yayasan yaitu Dr. Kurshid Ahmad.
Ketika kunjungan ke Islamic Foundation yang berlokasi di Leicester tersebut, mereka didampingi seorang mahasiswa SOAS bernama Yahya. Perjalanan ke tempat itu dilakukan dengan menggunakan kereta api. Ketika sampai di stasiun yang dituju, mereka disambut seorang staf magang yayasan bernama Ahmad Von Denffer yang berasal dari Jerman. Kebetulan Denffer telah mengenal Deliar saat kunjungannya ke Jakarta.
Kantor Islamic Foundation menempati sebuah rumah tua dan memiliki beberapa orang pegawai. Pemimpim Yayasan ini berasal dari Pakistan dan pernah memegang jabatan menteri. Dia seorang professor ekonomi dan pernah bertemu Deliar di Makkah dalam Konferensi Ekonomi Islam.
Beruntung mereka bisa berjumpa Dr. Kurshid Ahmad yang sedang di Inggris. Sehari-harinya, yayasan ini dijalankan Khurram Ahmad. Di yayasan itu, Deliar diberi kesempatan memberi kuliah singkat mengenai Islam di Asia Tenggara.
Pada saat memberikan kata sambutan, Khaidir sempat disindir Dr. Kurshid Ahmad karena baru pertama kali berkunjung ke tempatnya meski sudah cukup lama tinggal di London.
Usai kuliah, Foundation ini menanyakan kemungkinan orang Indonesia yang bisa tinggal di Leicester menulis tentang gerakan Islam Indonesia sebagai bagian dari penulisan buku gerakan Islam dunia.
Usai pertemuan, Khaidir mengajak Deliar menikmati jamuan makan siang di rumahnya. Selain Deliar, dia juga mengajak seorang dosen SOAS. Mereka menikmati makanan khas Minang ala London dengan nikmatnya yang bumbunya diracik tangan Taci sendiri.
Deliar sangat terkesan dengan keramahtamahan keluarga ini. Selain Wahidar, Deliar juga bertemu dengan Dewi yang saat itu masih kuliah “undergrad”. Saat menyapa Dewi, Deliar sempat menanyakan apa cita-citanya. Dewi menjawab kalau ingin menjadi Sejarawan karena tertarik dengan budaya “Bakaba” di Minangkabau. Namun kemudian Dewi menyelesaikan studi doktoralnya di Monash University, Australia.
Salah satu pembicaraan Khaidir yang sangat penting bagi Deliar adalah berita pencekalan Deliar ke luar negeri tahun 1974 yang diumumkan saat seminar “Islam di Asia Tenggara” yang diselenggarakan Universitas Heidelberg, Jerman. Khaidir yang sempat hadir, menyatakan kepada Deliar bahwa pada saat seminar, sempat diumumkan kepada audiens kalau Deliar tidak bisa datang karena “dicekal”.
Mendengar berita Khaidir yang terjadi enam tahun lalu itu, Deliar sempat kaget. Pada waktu itu, setelah terima undangan dan siap berangkat, tiba-tiba Menteri P&K tidak mengizinkan. Rencana semula, usai dari Jerman, perjalanan dilanjutkan ke Belanda dan Perancis. Direktur Pendidikan Tinggi, Departemen P&K menyatakan alasan pelarangan itu karena Pemerintah sangsi dengan perkembangan yang terjadi di Jerman yang dipengaruhi paham “The New Left” (Kiri Baru). Menurut Deliar, alasan itu tentu hanyalah semacam dalih karena sebelumnya dia pernah mengulas tentang Peristiwa Malari, bulan Januari 1974. Tulisan Deliar ini dinilai tidak sejalan dengan kebijakan Pemerintah Orde Baru.
Informasi
KONTAK
Alamat
Jln. Pasir Kandang No. 4 Koto Tangah, Padang,25172
info@umsb.ac.id
Telp
(0751) 482274