Mengenal Sosok Haji Zainal, Dan Pengaruh Besarnya
Haji Zainal adalah seorang anggota Konstituante, ulama, Pusat Rohani (Pusroh) TNI di Sumatera Barat dengan pangkat Mayor (tituler), guru bahasa Arab, ahli tafsir Al Quran, Pengurus Pusat Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan juga seorang pelukis. Dalam bidang bahasa, Zainal dikenal fasih berbahasa Arab dan Urdu.
Zainal lahir tahun 1901 di Biaro, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam. Dia merupakan anak dari Sjafiah Binti H. Muhammad Said (Suku Koto Lurah dari kaum Datuak Rajo Api) dan Ibrahim bin Haji Muhammad Amin St. Bagindo dari Suku Koto Lurah Biaro dari kaum Datuak Bagindo. Dari pernikahan itu, Zainal memiliki saudara perempuan bernama Aisjah Ibrahim.
Zainal dilahirkan dari keluarga cukup terpandang. Kakeknya bernama Syeikh Haji Ibrahim atau dikenal dengan “Uwo Tampaik”. Ulama dengan nama kecil Haji Saadun ini dilahirkan tahun 1810 dan meninggal dunia tahun 1885 di Biaro. Syeikh Haji Ibrahim mendirikan Surau Lurah yang ramai diziarahi khususnya bulan Sya’ban. Tidak kurang 400-an orang berziarah setiap tahun dari berbagai daerah khususnya Pariaman.
Tidak hanya dari keluarga Muslim yang taat, Zainal juga berasal dari keluarga yang mapan sehingga memungkinkannya menimba ilmu ke berbagai daerah bahkan Mekkah. Ketika masih kecil, Zainal belajar membaca Al Quran di Surau Lurah, Biaro. Pendidikan terakhirnya ditamatkan di Algemene Meddelbare School (AMS) di Bukittinggi.
Pada tahun 1917, Zainal yang masih di bawah umur, dibawa mamak-nya Haji Ismail menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Pada tahun 1919, Zainal menikah pertama kali dengan Daelan Binti Haji Ismail yang merupakan anak mamak-nya. Ayah Daelan yang bernama Haji Ismail adalah paman dari Haji Zainal. Sebagaimana lazimnya dalam budaya Minangkabau, setelah menikah Zainal diberi gelar Sutan Rajo Api.
Karena berasal dari keluarga terpandang, Zainal mempunyai 4 orang isteri, berturut-turut: Daelan Ismail (Koto Lurah, Biaro), Hadjir (Jambak, Biaro), Ajisam (Lungguak Muto) dan Sawajir (Pili, Biaro). Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai 11 orang anak.
Dari pernikahan ke-1 dikaruniai anak yaitu: Aminah Zainal, Amni Zainal, Amniah Zainal, Fatihah Islamiyah. Pernikahan ke-2 dikaruniai anak yaitu: Amin Gazi Zainal, Huda Mubarat Zainal. Pernikahan ke-3 dikaruniai anak yaitu: Amna Zainal, Islam Zainal, Iman Hanum Zainal, Hayatun Nufus Zainal, Ulfa Zainal. Pernikahan ke-4 tidak dikarunia anak.
Pada tahun 1921, Zainal kembali berangkat ke Mekkah. Keberangkatan ini sudah dirancang sejak lama karena berhaji pertama kali tahun 1917 itu ketika belum dewasa, sehingga hajinya dianggap belum sah. Kepergiannya ini dinilai cukup nekat karena melalui jalan darat via Singapura, Malaya, Thailand, Burma, India sampai ke Mekkah. Perjalananan itu dilakukan secara mandiri alias “backpacker” saat ini. Untuk memuluskan perjalanan, Zainal harus melakoni pekerjaan kasar demi bertahan hidup sehingga perjalanannya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dalam perjalanan menuju Tanah Suci itu, Zainal tidak menyia-nyiakan kesempatan belajar dengan masyarakat setempat sehingga dapat berkomunikasi dalam bahasa Urdu. Selama di Mekkah, Zainal memperdalam pengetahuannya dalam agama Islam dan bahasa Arab. Sebelum pulang ke tanah air, Zainal sempat singgah di Mesir.
Sekembali dari Tanah Suci tahun 1925, Haji Zainal mendirikan Surau Lurah di Biaro untuk mengajar agama Islam dan bahasa Arab. Murid-muridnya berdatangan dari berbagai daerah di Sumatera Tengah. Haji Zainal juga menyediakan pondokan untuk menampung murid yang belajar dari luar daerah tersebut.
Pada tahun 1932, Zainal merantau ke Batavia. Di kota itu, dia mengajarkan agama Islam, bahasa Arab, bahkan aktif sebagai pengurus pusat PSII bersama H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, A.M. Sangaji dan lain-lain.
Hubungan pribadi Haji Zainal dengan H. Agus Salim dikenal cukup dekat karena pertemanan mereka sudah terbina sejak tahun 1932. Kedekatan itu terlihat ketika terjadinya perpecahan dalam tubuh PSII. Ketika H. Agus Salim membentuk Pergerakan “Penyadar”, Haji Zainal berada pada barisan mentornya tersebut. Perpecahan di tubuh partai dipicu kebijakan Abikusno Tjokrosujoso selaku ketua yang terpilih dalam Kongres PSII tanggal 8-12 Juli 1936 yang mengeluarkan H. Agus Salim dalam kepengurusan partai. Kebijakan itu mendapat reaksi keras karena sebelumnya “The Grand Old Man” itu dianggap sebagai bintang partai. Pendirian Pergerakan Penyadar, dibidani H. Agus Salim bersama AM Sangaji, Haji Zainal dan lain-lain. Pergerakan Penyadar dipimpin H. Agus Salim sebagai pimpinan umum dengan wakilnya AM Sangaji, sedangkan Zainal duduk sebagai anggota pembantu pada Central Committee (CC).
Tahun 1940, Haji Zainal pulang ke Bukittinggi dan aktif dalam kepengurusan PSII Sumatera Tengah bersama dengan Haroen Joenoes (ketua), AB Baharuddin, Bagindo Aziz Chan, Djamarin Hamid, dan lain-lain.
Pada waktu pendudukan Jepang, Haji Zainal bersama dengan Haroen Joenoes dan Bagindo Aziz Chan membentuk badan sukarela bernama “Kinrohosyi Sukarela” guna menghimpun kekuatan rakyat membawa bahan makanan sendiri sehingga terhindar dari kelaparan.
Ketika terjadinya Agresi Belanda I tahun 1947, Bagindo Aziz Chan yang menjabat sebagai Wali Kota Padang ditembak Belanda. Dalam suasana chaos tersebut, Haji Zainal menyelamatkan keluarga Wali Kota Padang seperti Raden Entis Atisah dan anak-anaknya dengan membawa mengungsi. Keluarga itu ditempatkan di rumah Zainal dan rumah Haroen Joenoes di Biaro serta rumah AB Baharuddin di Batuhampa.
Tahun 1946, Zainal aktif mengajar di Pusroh TNI di Padang dan Bukittinggi. Diapun dianugerahi pangkat Mayor (tituler).
Pada tanggal 10 Mei 1952, Haji Zainal mengundang H. Agus Salim ke Balai Pendidikan Pengajaran Islam (BPPI) di Biaro. Dalam acara itu, H. Agus Salim disambut 2000 masyarakat yang antusias ingin mendengarkan nasihat dari mantan Menteri Muda Luar Negeri tersebut.
Ketika Pemilu pertama 1955, Zainal terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili PSII Sumatera Tengah sehingga dia harus menetap di Jakarta sampai tahun 1970.
Setelah tidak lagi berkecimpung dalam politik praktis, Zainal kembali ke Sumatera Barat tahun 1970. Di kampungnya, Zainal mengajar agama Islam, bahasa Arab dan menulis tafsir Al Quran. Tidak hanya itu, dia juga menyalurkan hobbinya dalam bidang seni yaitu melukis potret dan kaligrafi Arab.
Pada tahun 1974, Haji Zainal kembali ke Jakarta menghabiskan masa tua bersama anak-anaknya hingga meninggal dunia tahun 1976 dan dimakamkan di sana.
Oleh : Efri Yoni Baikoeni, MA., Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
(Kutipan buku “Ensiklopedia 1001 Orang Minang”, terbitan Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau, 2022).
Referensi
- Wawancara dengan Elthaf (cucu H. Zainal) tanggal 09 September 2022 secara virtual.
- Buku, “Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya (1924-1968)”.
Informasi
KONTAK
Alamat
Jln. Pasir Kandang No. 4 Koto Tangah, Padang,25172
info@umsb.ac.id
Telp
(0751) 482274